GemericikRasa, Jurnalistik 2019
“Tiga bulan lagi…?” Ucap pria setengah baya diujung meja itu. Di ruangan serba putih, dingin, namun tertata rapi, ia berhadapan dengan seorang berjas putih itu. Dia hanya bisa tertegun, mendengar “putusan” yang dijatuhkan kepada putranya.
“Betul pak, Ia anak yang kuat bisa bertahan hingga saat ini. Namun untuk bisa lebih jauh lagi, kita butuh campur tangan Tuhan untuk itu.” Jawab pria berjas putih di sisi lain meja itu.
“Baik pak, bu, saya tinggal dulu ya” sambungnya.
Ruang itu masih sepi sepeninggal pria berjas putih tersebut, hanya ada suara deru nafas kedua orang tua tersebut, serta suara alat bantu napas yang digunakan anak mereka, Kala.
Ranendra Kala, berartikan gagah dan waktu. Ranendra adalah perwujudan doa kedua orang taunya agar ia tumbuh dengan gagah, sedangkan Kala bermakna bahwa kehadIrannya lebih berharga dibandingkan waktu, walau memang kita tidak pernah menang darinya.
—
“Eh Kal, kepala sekbid olahraga kok engga olahraga lu? Cabut lu ya” ucap Alam sambil menghampiri Kala yang sedang bersandar pada pagar di depan kelasnya. Kebetulan memang ruang kelas anak kelas tiga berada di lantai dua sekolah. Kala hanya tersenyum mendengar teriakan temannya itu dari kejauhan.
“Gausah bawa-bawa osis dah, gue udah izin ke pa andhika. Gaenak badan gue” ucap Kala sambil menoleh ke arah lapangan.
“Alasan mulu lu, paling lu lupa bawa baju aja kan” timpal Alam.
“Lebih ke sengaja ga dibawa sih, lu sendiri kenapa ga di kelas Lam?” tanya balik dari Kala. “Kelas gue abis ujian biologi, biasa udah kelar duluan gue” jawab Alam sambil ikut memandangi lapangan di sebelah Kala.
“Si paling pinter dah” ucap Kala yang diikuti tawa keduanya. Alam merupakan teman sebangku Kala di kelas dua. Kedekatan mereka bermula secara tidak wajar, selain karena sebangku, mereka dekat karena Kala secara paksa mendaftarkan Alam menjadi anggota osis saat itu.
“Enggak kerasa ya Lam, bentar lagi kita demis. Perasaan baru kemaren gue masukin formulir osis ke tas lu diem-diem” kata Kala menghentikan tawa mereka. “Iye ya, tapi bisa ga dibahas lagi gak tuh kejadian?” jawab Alam dengan nada kesal.
“Ya tapi lu jadi bersyukur juga kan gue cemplungin ke osis” ucap Kala. Alam hanya diam dan mengangguk pelan tanda setuju, walau dengan ekspresi sedikit kesal. Mereka berdua kembali menatap lapangan, tempat beberapa kelas sedang melaksanakan mata pelajaran olahraga, termasuk kelas Kala.
Dalam keheningan diantara keduanya, pandangan Kala tertuju ke koridor lantai satu di hadapan mereka. Dia Aca, wakil ketua osis pada kepengurusan tahun ini. Menurut rumor yang tersebar, tidak ada yang berani berbicara disaat Aca sedang marah, bahkan dia disegani sampai dengan dua angkatan dibawahnya.
“Ngeliatin siapa sih kawan? Udah gausah ngarep ketinggian deh, nanti sakit jatohnya” celetuk Alam menggoda Kala. Respon Kala hanya tertawa kecil saat itu, sambil tetap memperhatikan Aca yang berjalan sendirian di koridor itu.
Kala memang sudah lama jatuh hati kepada Aca, sejak pertemuan pertama mereka saat seleksi menjadi calon pengurus Osis, waktu itu mereka masih sama-sama kelas satu.
Semenjak pertemuan itu, banyak momen yang mereka lewati baik sebagai pengurus osis seperti menjalankan program kerja hingga bersaing menjadi ketua Osis, walau pada akhirnya mereka sama-sama kalah. Selain momen-momen tadi, terdapat momen lainnya diluar urusan osis yang mungkin tidak banyak orang lain ketahui.
Tidak terkecuali Alam. Kenapa? Karena Kala tahu, Alam juga menaruh hati kepada Aca.
“ACAAA” teriak Alam dari lantai dua, memecahkan lamunan Kala tentang Aca barusan. Alam lalu melambaikan tangannya ke arah Aca, yang disambut senyum tipis Aca. Kala saat itu hanya bisa terpaku melihat Aca tersenyum dan berjalan berlalu.
“Kal, kayaknya kelas gue udah pada selesai ulangannya. Balik dulu ya,”
“Ohiya lu balik sekolah mau kemana? Bantuin gue nugas sejarah wajib dong” sambung Alam.
“Gue harus ketemu Iky dulu, mau ngomongin ekskul futsal sama osis,
abis itu aja gimana?” Jawab Kala.
“Ohh yaudah, ati-ati lu. Nanti diapa-apain lagi. Yauda nanti di warkop biasa yaa” ucap Alam sambil berjalan menjauh menuju kelasnya.
“Iyee, makasih perhatiannya bapak Alam”
Memang Osis dan ekskul futsal sekolah ini terkenal tidak akur, setidaknya sampai angkatan Kala masuk sebagai pengurus osis 2 tahun lalu. Walau sekarang hubungan diantara keduanya sudah membaik, namun tidak dengan hubungan Iky dan Kala.
—
“Kenapa lu ngajak ketemu gue?” tanya Iky sembari duduk di salah satu motor,
Kala mengajak Iky bertemu di parkIran motor yang berada di luar sekolah. Hal ini karena parkiran relatif sepi disaat jam pulang sekolah, juga jadi tempat persinggahan beberapa siswa untuk sekedar merokok atau istirahat sebentar sebelum menuju rumah maupun tongkrongan masing-masing.
“Nih, pegang dulu” Kala menyodorkan sebungkus rokok ke arah Iky.
“Lu mau nyogok gue? Basi. Mau ngomongin apa lu?” jawab Iky dengan nada sedikit tinggi.
“Masih sekecewa itu lu sama gue?” tanya Kala sambil mengantongi rokok tersebut.
“Bacot, kebanyakan basa basi lu” ucap Iky sambil mengambil tasnya dan berjalan pergi.
“3 bulan lagi, ky” tutur Kala sedikit kenyang dengan suara yang serak.
Iky lalu menghentikan langkahnya. “Lu bercanda kan?” tanya Iky namun belum berani menatap kearah Kala.
“Enggak, makanya gue mau ngobrol banyak sama lu, gue butuh lu” jawab Kala dengan suara serak. Iky masih terdiam membelakangi Kala dengan keheningan yang dipayungi awan mendung sore itu. “Lu anjing, Kal” ucap Iky bersamaan dengan gerimis yang turun membasahi dirinya dan Kala.
“gue minta maaf, Ky” Jawab Kala berat berusaha menahan tangisnya.
—
Waktu saat itu sudah menjelang magrib, Kala akhirnya sampai di warkop langganannya dengan Alam. Seperti janji mereka tadi, Alam sudah menunggu Kala disana. Namun sedikit berbeda karena ternyata Alam juga mengajak Aca.
“Dateng juga lu akhirnya, gue kira lupa lu. Ohiya, gue ngajak Aca ya, kebetulan tugas kita sama nih” sambut Alam disaat Kala menghampiri mejanya dengan Aca.
“Eh iya santai, jadi apa aja tugasnya?” balas Kala.
“Ohh ini, soal kerajaan-kerajaan islam di Indonesia sih” Ucap Aca.
Suasana menjadi sedikit canggung karena Kala paham ada maksud lain dari Alam mengajak Aca. Hal tersebut cukup mengganggunya sedikit sebetulnya, namun ia sadar bahwa waktunya tidak akan pernah cukup membahagiakan Aca. Pikirannya.
—
“Nah kan emang kalo sama lu cepet kelar Kal, thank you yaa” ucap Alam sambil menutup buku pelajaran sejarahnya dan merapikan laptopnya.
“Iyaa makasih ya Kal, emang keren deh calon ketua osis mah” celetuk Aca menimpali omongan Alam tadi. Kala hanya tertawa menanggapi omongan kedua temannya itu.
Mereka bertiga lalu menghabiskan waktu selanjutnya membahas seputar kegiatan LDK yang akan mereka selenggarakan, kenangan dua tahun selama di Osis kemarin, hingga momen yang telah mereka lewati bersama. Momen yang sangat berkesan bagi mereka bertiga, terutama bagi Kala yang bahkan berharap bisa hidup terus hanya pada momen itu saja.
“Makasih banyak ya Lam, Ca buat dua tahun ini, gue gatau tiba-tiba jadi sedih banget” ucap Kala sambil tertawa berusaha menutupi raut sedihnya.
“Eh apaan dah lu Kal, diapain Iky lu tadi, jadi mellow gini, sini-sini” timpal Alam sambil merangkul Kala.
“Enggak diapa apain, santai santai” saut Kala dan disambung dengan tawa dari ketiganya.
Jam pun sudah menunjukan pukul delapan malam, mereka bertiga pun memutuskan untuk pulang. Aca sendiri pulang bersama Kala karena memang rumah mereka berdua berada pada arah yang sama, namun sebelum itu Alam diam-diam sudah mengirimkan chat kepada Kala,
“Mainnya yang adil ya bos, bersaingnya sehat😊” tulis Alam dalam pesannya. Mereka berdua hanya tertawa satu sama lain, menyisakan Aca yang kebingungan diantara mereka.
Selama diperjalanan pulang, tidak banyak obrolan yang hadir diantara Kala dan Aca, hanya sebatas candaan tentang osis dan persiapan mereka menuju kuliah. Kala juga sedikit memikirkan pesan dari Alam, “Ohh dia udah tau?” tanya Kala dalam hati.
Aca sendiri banyak bercerita tentang keinginannya untuk masuk ke jurusan ilmu komunikasi, karena baginya kemampuan paling hebatnya adalah berbicara dan menulis. Dia juga ingin hidup sendiri, sehingga dia berencana mencari perguruan tinggi yang berada di luar kota mereka tinggal.
Kala hanya banyak tertawa merespon cerita dari Aca, dengan sesekali memberikan pandangannya soal jurusan yang diminati Aca tersebut. “Kalo lu sendiri, mau masuk jurusan apa Kal?” Tanya Aca.
“Kayaknya gue mau coba FKGH deh” jawab Kala dengan nada serius.
“FKGH apa?” saut Aca bingung. “Itu, Fakultas Kedokteran Gigi Hewan” Jawab Kala sembari tertawa disusul dengan tawa dari Aca. Jayus memang, tapi memang kenapa?
Waktu berlalu seiring percakapan diantara keduanya, kini keduanya sampai di rumah Aca yang hanya berjarak beberapa blok dari rumah Kala. “Makasih ya mas, ini helmnya” ucap Aca sambil memberikan helm kepada Kala.
Kala hanya menjawab dengan senyum tipis dan mengangguk pelan. Dia sedang berusaha menikmati setiap momen yang bisa ia miliki dengan Aca, entah kapan lagi anggapnya bisa seperti ini lagi.
“Halo? Diem aja pak?” Tanya Aca. “Eh iya, sorry lagi ada yang dipikirin tadi” jawab Kala.
“Ada ada aja lu, yaudah tiati yaa, makasih sekali lagi” ucap Aca sambil membuka pagar rumahnya dan berjalan masuk.
—
Semua berjalan normal selama beberapa bulan belakangan. Pengurus Osis kabinet Kala, Alam, dan Aca juga sudah demisioner. Namun tepat 2 minggu setelah Demisioner Osis tersebut, Kala mulai tidak masuk sekolah. Awalnya, tidak ada yang mengetahui kondisi sebenarnya yang Kala sedang alami, desas-desus bermunculan di lorong sekolah itu.
Sedangkan Iky, juga dikabarkan beberapa kali bolos sekolah dan juga latihan futsalnya. Setiap datang ke sekolah pun, tatapannya sering kali kosong,
“Lu pernah mikir ga pas lu meninggal, orang-orang bakal gimana, Ky?” tanya Kala sore itu dengan hujan yang menyisakan gerimis.
“Enggak, gue mau hidup 1000 tahun lagi” Jawab Iky sambil memuntung rokoknya. “Emang kenapa?”
“Gue selalu pengen deh liat aja siapa yang bakal dateng pas gue meninggal nanti” Jawab Kala.
“Ky?” tepuk Alam ke Pundak Iky membuyarkan lamunannya tentang percakapan dengan Kala saat itu.
“Eh iya lam, kenapa?” tanya Iky. “Ini kita udah mau ke makam, ayo” ajak Alam.
“Ohiya sorry tadi gue ngelamun, ayo” Jawab Iky.
Tepat tiga bulan dari pertemuan Kala dan Iky, hari yang dibayangkan Kala tiba. Mereka beserta para pelayat lalu bersama-sama pergi menuju pemakaman keluarga Kala yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Sore itu langitnya cerah, tampak awan mulai berubah warna menjadi oranye tanda senja sebentar lagi tiba.
Pemakaman itu tidak terlalu ramai, namun semua yang hadir nampak khusyuk dalam lantunan doa yang dibacakan oleh pemuka agama setempat. Sedikit raut sedih yang nampak diantara mereka dan beberapa lainnya berusaha tabah.
Tak seberapa jauh dari makam itu, Nampak juga Iky, Alam, dan juga Aca yang ikut dalam prosesi tersebut. Iky kembali ke lamunannya tentang keinginan Kala melihat siapa saja yang hadir disaat dia benar-benar pergi.
“Lu pasti seneng kan sekarang, orang-orang yang lu harepin dateng semua, kal” gumam Iky.
Setelah semua proses selesai, Iky bersama Alam dan Aca memutuskan untuk mengunjungi kafe favorit Kala. Disana Alam banyak bertanya tentang permasalahan Iky dan Kala, dimana memang perselisihan itu beberapa kali Kala singgung namun tidak pernah Kala jelaskan detail.
“Permasalahan itu sebenernya tentang gue yang kecewa sama pilihan dia buat masuk osis. Sedangkan gue ada di sisi yang berseberangan sama dia di futsal, jadi panjang deh terus ngerembet kemana-mana” cerita Iky.
“Tapi masalah itu udah selesai tiga bulan yang lalu, Waktu itu juga dia cerita soal kondisi dia yang makin memburuk” kata Iky.
“Jadi lu udah tau penyakitnya dia?” Tanya Alam.
“Udah, dari gue awal temenan sama dia,. Tapi dari 3 bulan lalu dia udah cerita kondisi dia waktu itu ke gue” Jawabnya.
“Terus respon lu apa waktu itu?” Tanya Aca menimpali jawaban Iky tadi.
Iky lalu mengeluarkan sebungkus rokok yang masih rapi tersegel dari sakunya. Plastik pembungkusnya pun masih rapi, benar-benar seperti baru.
“Gue waktu itu cuman bisa berusaha denger cerita dia aja, posisi gue juga antara marah dan bingung waktu itu. Dia juga ngasih gue rokok ini, dia bilang harus jadi rokok terakhir gue karena dia pengen gue berenti. Belom bisa gue buka, karna gue gatau siap apa engga buat menuhin harapan dia,” jawab Iky.
Mendengar cerita Iky, Alam dan Aca hanya bisa diam, tanpa respon sedikit pun.
“Gue minta maaf yak arena engga cerita ke kalian lebih awal..” Tambah Iky dengan nada sendu.
“Iya Ky gapapa, pasti berat juga nyimpen itu sendirian, kita paham kok” jawab Aca diikuti dengan anggukan kepala Alam tanda setuju.
Tidak banyak percakapan yang hadir setelah cerita dari Iky, sampai akhirnya mereka pulang ke rumah masing-masing.
—
“Harapan gue, pas gue pergi, orang-orang terdeket gue juga ada disana Ky. Tapi gue ga pengen mereka sedih, gue pengen mereka tau kalo gue udah sembuh sekarang.”
“Terutama buat Alam sama Aca, gue pengen bisa terus nemenin mereka gitu, sekedar bantuin tugas sejarah mereka, pengen bisa ngasih sesuatu yang bisa jadi pengingat mereka ke gue. Gue takut dilupain, Ky.” Kata-kata Kala sembilan bulan lalu, yang terus berputar di kepala Iky.
Iya, sudah enam bulan semenjak Kala benar-benar sembuh dari sakitnya. Rerumputan hijau mulai tumbuh di atas makamnya, Nampak bunga-bunga segar tertabur diatasnya, tanda baru saja ada yang singgah.
“Udah 6 bulan Kal dari harapan lu waktu itu lu bilang,” Kata Iky sambil duduk di dekat nisan Kala.
“Ranendra Kala, tugas lu di dunia buat nemenin dua sahabat lu itu udah cukup, mereka udah nemu jalan mereka masing-masing. Aca bakal lanjut kuliah komunikasi, entah dia udah pernah cerita apa belum ke lu,”
“Buat Alam, dia bakal lanjutin ambil Biologi kuliahnya. Gue gatau apa mereka rasain sekarang, Kal. Tapi yang gue tau, mereka nggak ngelupain lu.” Cerita Iky dengan mata berkaca-kaca.
“Mereka selalu dateng setiap bulannya ke café favorit lu, buat sekedar mesen coklat panas sama roti bakar coklat keju yang lu suka pesen. Gue pernah sekali ikut mereka, mereka keliatannya udah bisa menerima kehilangan lu dan mulai bahagia dengan kondisi sekarang. Lu udah ngasih lebih dari sekedar barang yang bisa mereka kenang Kal, lu jadi ikatan buat mereka berdua,”
“Kalo gue, lu gausah khawatir, lu pasti paham gue. Jadi, tunggu gue disana ya, nanti kita ngobrol lagi, gue bakal cerita lebih banyak tentang apa yang ada disini setelah lu pergi.”
Setelah sejenak berdoa, Iky lalu berjalan menjauh dan pergi dari makan Kala. Angin bertiup pelan, menggoyangkan pepohonan di sekitar makam itu, mengiringi langkah Iky. Namun seketika Iky memberhentikan langkahnya, berbarengan dengan angin yang sedikit kencang berhembus membawa dedaunan.
Sempat terlintas dipikiran Iky bahwa ini adalah jawaban dari Kala, namun baginya sahabatnya sudah benar-benar tenang di peristirahatan terakhirnya. Iky pun terus melanjutkan langkahnya menuju ujung jalan, dimana ada Alam dan Aca yang menunggu disana.
“Makasi, Kal.”
Comments