top of page

Media Sosial, Podium bagi Mereka yang Tertindas

Oleh Zulfa Salman A.


Aksi pelecehan seksual yang dilakukan secara frontal oleh salah satu pengemudi taksi online di Manado baru-baru ini menimbulkan banyak kritik dari aktivis sosial maupun masyarakat umum terhadap situasi yang memaksa korban ditempatkan dalam posisi bersalah sebab cara berpakaiannya yang dianggap “mengundang”. Dikutip dari penulis buku Politik Kesetaraan, Heiner Bielefeldt, setiap isu diyakini dapat membelah masyarakat menjadi dua kelompok: kelompok pro dan kontra. Terkait isu pelecehan seksual tersebut, beberapa orang memuji tindakan korban untuk berdiri memperjuangkan haknya, beberapa berpendapat lain dengan menggunakan istilah “tidak ada asap bila tidak ada api” untuk menyudutkan korban. Namun, jumlah mereka yang berpendapat korban turut mengambil peran sebagai pihak yang bersalah tertutupi oleh jumlah mereka yang berpikiran sebaliknya. Sebelum awal abad ke-21, ketika media sosial bukan sesuatu yang umum di tengah masyarakat, kondisi sosial ini bisa

jadi berakhir berbeda.


Media sosial, terutama di beberapa tahun belakangan, telah banyak terlibat sebagai lapak politik dan sosial. Tidak dapat dimungkiri, media sosial juga telah menjungkirbalikkan budaya kolot yang cenderung ramai dijunjung tinggi di berbagai negara maju ataupun berkembang, contohnya budaya menghakimi korban pada setiap kasus pelecehan seksual hingga pemerkosaan seperti kasus yang telah disebutkan di atas. Media sosial telah banyak membantu menyebarkan kebebasan berpendapat serta keseteraan hak bagi setiap individu. Kini banyak pengguna internet menjadi garda terdepan dalam membela yang tertindas melalui postingan di media sosial. Para tokoh selebriti dan politikus pun tak ketinggalan berlomba-lomba menggaet sebanyak mungkin pendukung di media sosial melalui tren berpikiran terbuka (open minded).


Salah satu peran besar media sosial dalam menuntut keadilan sosial adalah kasus pembunuhan yang menyita perhatian dunia di tahun 2020 lalu. Berkat media sosial, pembunuhan seorang pria Amerika berkulit hitam yang tak bersenjata, George Floyd, oleh seorang petugas polisi Minneapolis berkulit putih, Derek Chauvin, mengakibatkan protes keras dari banyak pihak yang menjatuhkan citra lembaga hukum di mata masyarakat Amerika Serikat. Kasus tersebut juga menyebabkan tagar #BlackLivesMatter marak digunakan di berbagai platform media sosial oleh netizen di seluruh penjuru dunia sebagai bentuk dukungan bagi orang-orang berkulit hitam yang hak-haknya direnggut selama ini.


Puluhan tahun lalu, hanya para tokoh penting serta jurnalis yang bisa didengar dan diakui pendapatnya melalui koran sebagai salah satu media massa yang paling mudah didapatkan. Kini koran perlahan tergantikan oleh media-media arus bawah. Kini setiap orang bisa menjadi jurnalis tanpa harus berkredibilitas tinggi serta memiliki lisensinya terlebih dahulu. Berita buruknya, hoax bertebaran di mana-mana, informasi yang diterima menjadi sulit untuk dipercaya, dan massa begitu mudah untuk digiring isi kepalanya. Berita baiknya, terlepas dari segala kontranya, media sosial menjadi podium bagi setiap individu maupun kelompok untuk menyuarakan kritik dan opini mereka terhadap tatanan sosial yang dianggap perlu dirombak dan diperbaiki dengan leluasa.

21 views

Related Posts

See All

Comments


bottom of page